Jejak Sejarah Kelam di Penjara Bawah Tanah


Setiap langkah menuju Museum Sejarah Jakarta di Kota Tua bukan hanya memberikan pengalaman edukatif tentang sejarah perkotaan, tetapi juga membawa pengunjung merasakan kesadisan masa lampau. Salah satu atraksi utama yang membuat museum ini begitu unik adalah penjara bawah tanah yang tersembunyi di balik struktur bangunan tua.


Gedung Museum Sejarah Jakarta atau sering dikenal dengan Museum Fatahillah, yang berdiri sejak abad ke-17, dulunya merupakan Balai Kota Batavia untuk Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC). Dibangun pada tahun 1620, bangunan ini memiliki banyak fungsi penting, termasuk tempat pembayaran pajak, pusat berdoa, pengadilan, penjara, serta lokasi eksekusi tahanan. Penjara bawah tanahnya adalah salah satu bagian yang paling menarik minat para pengunjung karena menghidupkan kembali kesadisan masa lalu dengan sangat nyata.


Ruang penjara terlihat sangat kecil dan gelap, dengan tinggi hanya mencapai 165 cm, sehingga para tahanan harus meringkuk dalam posisi yang sulit. Ruang penjara ini pernah dipenuhi puluhan hingga ratusan orang tahanan, melebihi kapasitas yang ada. Dalam kondisi tertentu, seperti saat air laut pasang, penjara ini bahkan bisa terendam, menenggelamkan para tahanan di dalamnya.


Para tahanan diwajibkan melakukan kerja paksa di luar ruangan sambil terikat bola besi seberat 40kg di kaki mereka. Suasananya yang menyakitkan dan sadis menciptakan aura mistis yang sangat kental. 


Selain kisah menyedihkan para tahanan, penjara bawah tanah ini juga telah menampung tokoh-tokoh besar Indonesia, seperti Pangeran Diponegoro dan Cut Nyak Dien. Kondisi hidup mereka di dalam penjara sangat kelam. Cut Nyak Dien ditahan di penjara wanita, sementara Pangeran Diponegoro mendapat kamar khusus yang tetap jauh dari kemewahan.


Setelah peristiwa kelam penjajahan Belanda, gedung ini diambil alih oleh Jepang pada tahun 1942 sebagai kantor logistik Dai Nippon. Namun, setelah kemerdekaan, bangunan ini diubah menjadi museum pada tahun 1974 oleh Gubernur DKI Jakarta saat itu, Ali Sadikin.


Museum Sejarah Jakarta bukan hanya tempat untuk belajar, tetapi juga sebagai saksi bisu atas tragedi masa lampau. Penjara bawah tanah yang kecil namun penuh dengan cerita tragis pastinya memberikan pengalaman tak terlupakan bagi setiap pengunjung. Mari kita syukuri bahwa hari-hari kelam itu sudah berlalu, dan kini kita hidup dalam kemerdekaan.

 

Post a Comment

أحدث أقدم